Jumat, 20 November 2009

Gigi Hiu

!!! Bacalah !!!
Coba Temukan Daku
Fosil Gigi Ikan Hiu dari Laut Purba Jampangkulon


CAHAYA matahari pagi menyinari bagian timur rangkaian pegunungan selatan yang berlapis-lapis, menghasilkan gradasi warna biru yang luar biasa. Dengan sapuan awan “bulu ayam” warna putih tipis, suasana terasa semakin hening pagi itu. Asap mengepul tinggi dari perapian di perladangan penduduk memulas langit yang jernih. Wangi tanah huma yang baru dibalikkan dengan garpu adalah wangi kesederhanaan masyarakat yang hidup di kawasan berbatu kapur di Sukabumi Selatan, Jawa Barat. Saat musim kemarau, tanah diolah, digarpu, dan dicangkul sehingga pada saat hujan mulai turun, ketika siraru (laron) beterbangan di perkampungan, itu tandanya musim tanam sudah tiba.

Di salah satu puncak dari rangkaian pegunungan selatan itulah Oka Sumarlin (23) dengan timnya mencoba masuk dan menelusuri perut bumi Desa Cikarang, Kec. Cidolog, Kab. Sukabumi. Oka Sumarlin adalah mahasiswa pencinta alam. Ia pendaki gunung yang sedang mendalami pemetaan gua. Jangan heran bila waktunya banyak dihabiskan di daerah-daerah karst (kapur/gamping) khususnya di Sukabumi Selatan. Tanggal 27 Agustus – 3 September 2005, ia dan timnya dari Mahasiswa Pencinta Alam Jantera menelusuri lagi gua-gua yang belum didata di daerah Cikarang, Cidolog.

Sebelum menelusuri gua, sudah menjadi standar operasinya untuk mengadakan pengamatan permukaan dan menggali informasi sebanyak-banyaknya dari penduduk setempat tentang gua yang akan ditelusurinya. Apakah penduduk sudah pernah menelusuri gua tersebut, panjangnya berapa lama perjalanan, ada tidak sesuatu bentukan yang mengandung risiko terlalu besar, atau binatang apa yang pernah dilihat di dalam gua. Di samping itu, mengadakan pemetaan permukaan dan mencatat lokasi gua secara geografis dan posisi astronimisnya. Tapi, banyak juga gua yang belum pernah ditelusuri penduduk, bahkan banyak lubang gua di ladang yang sengaja ditutup kembali dengan tanah.

Saat orientasi lokasi gua itulah Oka berkesempatan lebih banyak berbincang dengan penduduk setempat dan mengadakan pemetaan pendahuluan penyebaran gua. Desa Cikarang, Kec. Cidolog mempunyai gua kapur yang sangat kaya. Bahkan ada beberapa gua yang besar dan panjang, yang mulut guanya dari dapur rumah.

Saat berjalan di huma, di tanah gersang yang baru dicangkul, sering terlihat benda-benda yang menonjol dibandingkan dengan lingkungannya. Setelah dipungut dan dibersihkan, ternyata itu adalah benda-benda yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan, seperti fosil gigi ikan hiu yang terselip di lahan pertanian kering, yang ditanami setahun sekali bila musim hujan datang. Di kawasan yang kering itu tersimpan potensi fosil ikan laut yang sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

5–1,8 juta tahun lalu

Desa Cikarang, Kec. Cidolog jaraknya 50 km dari pantai. Di daerah inilah Oka Sumarlin mendapatkan fosil gigi ikan hiu. Berbeda dengan gigi ikan hiu yang ditemukan di Gua Pawon, Kab. Bandung, yang ukurannya lebih kecil dan sudah menjadi benda-benda budaya karena sudah dilubangi untuk mengikatkan tali, fosil gigi ikan hiu dari Desa Cikarang ukurannya cukup besar. Tingginya 9,5 cm., belum termasuk akar giginya yang patah dengan lebar bagian atas 7,5 cm. Melihat ukuran giginya, sangat mungkin hiu ini sangat besar.

Kawasan Jampangkulon sesungguhnya sejak kala Oligo-Miosen atau 25 juta tahun lalu sudah menjadi daratan. Namun, dalam evolusinya yang dinamis, karena ada sesar turun yang memanjang barat-timur, secara evolutif kawasan ini mengalami penurunan yang sangat berarti. Akibatnya, pada kala Pliosen antara 5–1,8 juta tahun yang lalu, kawasan Jampangkulon kembali berada di bawah permukaan laut dan binatang koral tumbuh subur dengan berbagai binatang laut lainnya. Laut selatan ini pun sampai saat ini merupakan habitat hiu tropis yang kaya dan merupakan jalur migrasi berbagai jenis paus. Bila fosil gigi ikan hiu banyak terdapat di sini, dapat diduga, di kawasan ini terdapat fosil tulang belakang ikan paus.

Hiu-hiu yang aktif di kawasan laut tropika ini menemui ajalnya di laut dangkal Jampangkulon purba. Bisa juga, gigi yang paling depan tanggal di sini, lalu terkubur sedimentasi dan terawetkan menjadi fosil. Bila melihat sejarah pembentukan bumi Jampangkulon, umur fosil itu sudah cukup lama. Paling tidak, umurnya ada dalam rentang waktu antara 5–1,8 juta tahun yang lalu.

Sejak 1,8 juta tahun yang lalu, secara evolutif kawasan Jampangkulon terangkat kembali, sehingga fosil gigi ikan hiu atau fosil binatang laut lain kini berada di lokasi yang jauhnya 50 km dari pantai, di puncak rangkaian pegunungan selatan. Fosil gigi ikan hiu itu terawetkan sehingga dapat melewati rentang waktu yang sangat lama. Dinamika luar bumi telah menyebabkan pelapukan dan erosi lapisan bebatuan yang melapisi dan mengawetkan gigi hiu sehingga fosil yang asalnya terselimuti bebatuan sedimen itu kini tersingkap ke permukaan.

Dengan mengamati bentuk fosil gigi ikan yang berbentuk segitiga, fosil gigi hiu di Jampangkulon sejenis dengan gigi hiu putih besar (Carcharodon carcharias) saat ini. Hanya ukurannya yang beda. Fosil gigi itu ukurannya mencapai 4-5 kali lipat ukuran gigi hiu putih besar saat ini.

Kampus lapangan

Bila diamati dari namanya, Sukabumi, sudah mengisyaratkan bahwa di kawasan ini terdapat banyak gejala kebumian. Sukabumi selatan dapat dijadikan contohnya. Keragaman bentukan bumi dengan kehidupan yang terdapat di atasanya akan sangat menarik bila kawasan ini dijadikan sebagai kampus lapangan, sebagai pusat belajar kealaman bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan bagi para peneliti di perguruan tinggi. Keadaan kawasan yang menarik secara alam dan kebudayaan ini tak terlepas dari sejarah bumi yang begitu panjang dan unik.

Berikut ini adalah beberapa contoh keunikan bumi dan budaya penghuninya. Di Sukabumi selatan banyak ditemukan fosil binatang laut, seperti gigi ikan hiu atau tulang belakang ikan paus. Sangat mungkin, fosil-fosil tersebut sisa dari binatang kala Pliosen antara 5–1,8 juta tahun yang lalu. Di kawasan tersebut juga banyak ditemukan kabuyutan, seperti lahan di puncak bukit yang telah dibalay berundak-undak, sebagai tempat suci untuk pemujaan pada zamannya. Ditemukan juga batu-batu besar yang bagian atasnya rata dan licin dengan lubang-lubang seperti alat permainan congklak/dakon. Benda-benda budaya manusia prasejarah lainnya seperti kapak batu dan patik perimbas. Dengan keadaan buminya yang sangat menarik dan menakjubkan secara keilmuan dan pariwisata, Sukabumi selatan dapat dirintis dan diperkenalkan sebagai lokasi kampus lapangan.

Sukabumi selatan merupakan kawasan studi lapangan yang lengkap. Tak hanya fisik buminya berupa batuan paling tua di Ciletuh, lorong-lorong gua kapur yang panjang dengan berbagai tipenya, rangkaian pegunungan kapur, cagar alam kawasan hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, konservasi penyu dan binatang lainnya. Tetapi, kearifan manusia penghuninya dan budaya titinggal karuhun masih dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari sampai saat ini.

Kalau kita bertanya, ada berapa SMA di Kota dan Kab. Sukabumi yang siswanya belajar mata pelajaran geografi, sejarah, biologi, dan bahasa Indonesia? Pertanyaan berikutnya adalah pernahkah siswa dengan bimbingan gurunya mengunjungi tempat-tempat di Sukabumi selatan yang luar biasa tersebut? Pernahkan mengunjungi Cidolog atau Sagaranten? Di sana gua-gua kapurnya sangat menarik dan sempurna, lengkap dengan bentukan-bentukan dalam gua yang lengkap, ada stalaktit, stalagmit, sungai bawah tanah yang deras, gua berlumpur, gua kering, gua yang sangat sempit sampai ruangan yang mirip aula.

Mengapa kita harus pergi jauh untuk mengetahui batuan bancuh atau melange di luar Provinsi Jawa Barat bila di Ciletuh ada? Pernahkan ke Surade atau Jampangkulon? Di sana terdapat berbagai fosil binatang laut purba, seperti gigi ikan hiu, tulang punggung ikan paus, bahkan mungkin fosil yang lainnya. Di Sukabumi selatan pun sangat kaya akan fosil kayu purba yang dapat dijadikan sumber belajar.

Pemda Kabupaten dan Kota Sukabumi perlu secara bersama-sama membangun museum sebagai pusat belajar. Jangan sampai fosil dan benda-benda budaya yang berasal dari Sukabumi dibawa ke luar daerah ini sekadar dijadikan projek penelitian oleh berbagai instansi tanpa ada sumbangan bagi pembangunan sumber daya manusia di daerahnya. Sudah saatnya Sukabumi bangkit untuk menumbuhkan hasrat meneliti masyarakatnya dengan membangun museum alam, tempat bagi semua koleksi yang ditemukan di Sukabumi dipamerkan, diteliti, dan dipublikasikan. Dengan cara inilah akan terjadi pemberdayaan dan peningkatan wawasan masyarakat akan sejarah lokalnya, akan sejarah bumi dan manusianya. Dengan cara inilah manusia-manusia Indonesia akan tumbuh mencintai bumi tempat kaki berpijak dan bangkit penuh gairah sehingga dapat bersaing secara global. Insya Allah!***

Harian Pikiran Rakyat, Kamis 22 Desember 2005

T. Bachtiar
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar